Etika adalah
hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena dengan memiliki etika maka kita mampu menjalankan kehidupan bernegara
dengan lancar.
Indonesia
adalah negara yang berlandaskan Pancasila. Pancasila merupakan dasar dari
negara Indonesia. Karena Pancasila adalah dasar dari Negara Indonesia, maka
setiap tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh warga Indonesia harus
berpedoman dengan nilai-nilai Pancasila. Setiap butir Pancasila mengandung
pedoman-pedoman yang dapat dijadikan landasan oleh warga negara Indonesia untuk
bertindak. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia juga harus
didasari dengan nilai moral.
Pancasila
sebagai sistem etika merupakan jalan hidup bangsa indonesia dan juga merupakan
struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada
setiap warga Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku.
2.1 Konsep
Pancasila Sebagai Sistem Etika
1.
Pengertian
Etika
Istilah
etika berasal dari Bahasa Yunani, Ethos yang artinya tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang
biasa dilakukan atau tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. dalam artian ini, etika
sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas adalah ilmu yang
membahas tentang kriteria baik dan buruk. Etika pada umumnya dimengerti sebagai
pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam
perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip
yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas atau etika.
Etika
adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggungjawab dengan
berbagai ajaran moral. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah kelompok
filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap
apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Etika
Umum, mempertanyakan prisip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
b. Etika
Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubuhngannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika indivial) maupun
makhluk sosial (etika sosial).
Etika selalu terkait dengan masalah nilai, sehingga perbincangan
tentang etika pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik atau
buruk). Kondisi menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real,
karena nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban
untuk berada. Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian
seseorang. Istilah nilai mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi.
Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan
secara umum, yaitu :
a. Sesuatu
yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
b. Suatu
kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna, atau pemenuhan karakter
untuk kehidupan seseorang.
c. Suatu
kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai
pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
d. Suatu
kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik diantara
berbagai kemungkinan tindakan.
e. Suatu
standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku
bagi dirinya dan orang lain.
f. Suatu
“objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus
membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek
nilai mencakup karya sei, teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan,
budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri.
Dengan demikian, nilai sebagaimana
pengertian butir kelima, yaitu sebagai standra fundamental yang menjadi
pegangan bagi seeseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk
mengukur karakter seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang
diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya
dapat dikategorikan etis atau tidak.
Namun dalam bahasa, pergaulan orang
sering kali mencampuradukkan istilah etika dan etiket, padahal keduanya
mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan etiket
lebih mengacu pada pengertian sopan santu, adat istiadat. Jika dilihat dari
asal usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan etiket berasal
dari kata “atiquette”. Keduanya memang mengatur perilaku manusia secara
normative, tetapi etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian
kritis tentang baik dan buruk. Sedangkan etiket mengacu kepada cara yang tepat
yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertntu. Contoh,
mencuri merupakan pelanggaran moral, tidak penting apakah dia mencuri dengan
tangan lanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan tata cara
berperilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan tangan kanan dianggap lebih
sopan atau beretiket.
2.
Aliran-Aliran
Etika
Ada beberapa aliran
etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi :
a.
Etika Keutamaan (Etika
Kebajikan)
Etika keutamaan adalah
teori yang mempelajari keutamaan
(virtue), artinya mempelajari tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk.
Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih
menekankan pada “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”. Beberapa watak yang
terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati, ksatriya, belas kasih, terus
terang, bersahabt, murah hati, bernalar, percaya diri, penguasaan diri, sadar,
suka bekerja bersama, berani, santun, jujur, terampil, adil, setia, bersahaja,
disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan toleransi.
b.
Etika Teleologis
Etika teleologis adalah
teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral menentukan nilai tindakan
atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan kewajiban. Seseorang yang mungkin
berniat sangat baik atau mengikuti asas-asas moral yang tertinggi, akan tetapi
hasil tindakan moral itu berbahaya atau jelek, maka tindakan tersebut dinilai
secra moral sebagai tindakan yang tidak etis. Etika teleologis ini menganggap
nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas tindakan
tersebut dalam mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap bahwa
di dalamnya kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan
akhir yang diinginkan. Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemosisme,
hedonisme, utilitarianisme.
c.
Etika Deontologis
Etika deontologis
adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban moral sebagai hal yang
benar dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat.
3.
Etika
Pancasila
Etika Pancasila adalah cabang
filasat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena
itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia di
Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi
moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang
Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia menjadi manusiawi, yaitu
upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila
persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein),
cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi berupa sikap mengghargai
orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang
lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain. Etika Pancasila itu lebih dekat
pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan.
Meskipun
corak deontologist dan teleologis termuat pula didalmnya, namun erika keutamaan
lebih dominan karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu
:
a.
Kebijaksanaan, artinya
melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada
kebaikan serta atas dasar kesatuan akal-rasa-kehendak yang berupa kepercayaan
yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dalam memelihara nilai-nilai hidup
kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religious.
b.
Kesederhanaan, artinya
membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan.
c.
Keteguhan, artinya
membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal menghindari
penderitaan.
d.
Keadilan, artinya
memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dn manusia lain, serta
terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya.
4.
Pengertian
Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu
benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu
pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu objeknya.
Dengan demikian, nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyatan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu
kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian
untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang
dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau
tidak bai, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan uunsur
indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal,
rasa, karsa, dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah
sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan
harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem
merupakan salah satu wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Oleh
karena itu, Alport mengidentifikasi nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat pada enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika,
nilai sosial, nilai politik, dan nilai religi.
5.
Hierarkhi
Nilai
Hierarkhi
nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu masyarakat
terhadap suatu objek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai
tertinggi adalah material. Max Scheley menyatakan
bahwa nilai-nilai yang tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya,
nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu :
a.
Nilai kenikmatan,
adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang,
menderita, atau tidak enak.
b.
Nilai kehidupan, yaitu
nilai-nilai penting bagi kehidupan, yakni jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum.
c.
Nilai kejiwaan, adalah
nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan, dan pengetahuan murni.
d.
Nilai kerohanian, yaitu
tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Sementara
itu, Notonagoro membedakan nilai menjadi tiga, yaitu :
a.
Nilai material, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagis jasmani manusia.
b.
Nilai vital, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mangadakan suatu aktivitas atau
kegiatan.
c. Nilai kerokhanian,
yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empa
tingkatan sebagai berikut :
1. Nilai kebenaran, yaitu
nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
2. Nilai keindahan atau
estetis, yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
3. Nilai kebaikan atau
nilai moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
4. Nilai religius, yaitu
nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai
dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu
keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena
itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati, dan pikiran sebagai suatu
keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
6.
Pengertian
Moral
Moral
berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan,
kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dianggap sesuai dan
bertindak secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap
tidak bermoral.
Moral
dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar,
baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai
dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat,bangsa, dan negara.
7.
Pengertian
Norma
Kesadaran
manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan
terhadap suatu peraturan atau norma. Hububngan ideal yang seimbang, serasi dan
selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan
alamiah (alam sekitarnya). Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai
makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu keasadaran dan
sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu,
norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk
dipatuhi karena adanya sanksi.
Hubungan
nilai, norma, dan moral yaitu, keterkaitan nilai, norma, dan moral merupakan
suatu kenyatan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan
kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu,
masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan
berkembang. Sebagaimana tersebut diatas maka nilai akan berguana menuntun sikap
dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas
sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan
norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu
amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara
moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya.
Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di
tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
2.2 Urgensi
Pancasila Sebagai Sistem Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem
etika terkait dengan problem yang dihadapi bangsa Indonesia yaitu sebagai
berikut :
1. Banyaknya
kasus korupsi yang melanda Negara Indonesia sehingga dapat melemahkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Masih
terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga merusak semangat
toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantahkan semangat
persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa.
3. Masih
terjadinya pelanggaran HAM dalam kehidupan bernegara.
4. Kesenjangan
antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat
Indonesia.
5. Ketidakadilan
hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia.
6. Banyaknya
orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar.
Hal-hal penting
yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem etika meliputi
hal-hal sebagai berikut :
1. Meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika.
Berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan isnpirasi bagi
penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara.
2. Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance (bimbingan) bagi setiap
warga negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik
lokal, nasional, regional, maupun internasional.
3. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai
kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara, sehingga tidak keluar dari
semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasila.
4. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring
pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak
globalisasi yang mempengaruhi pemikiran warga negara.
Dari semua
hal-hal penting diatas, memperlihatkan penting dan mendesaknya peran dan
kedudukan Pancasila sebagai sistem etika, karena dapat menjadi tuntunan atau
sebagai Leading Principle bagi warga
negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Etika Pancasila diperlukan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena Pancasila
berisikan nilai-nilai moral yang hidup.
2.3 Dinamika
Dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Etika
1.
Dinamika
Pancasila Sebagai Sistem Etika
Dinamika
Pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Zaman
orde Lama
Pemilu diselenggarakan
dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi
dimenangkan oleh empat partai politik. Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan
di zaman orde lama mengikuti sistem etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari
pihak orde baru. Bahwa pemilihan umum pada zaman orde lama dianggap terlalu
liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang
cenderung otoriter.
b. Zaman
Orde Baru
Sistem etika Pancasila
diletakkan dalam bentuk penataran P-4. Pada zaman orde baru itu pula muncul
konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia berperilaku dan
berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya
dalam pandangan orde baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani
sekaligus jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia
sebagai makhluk sosial pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih
sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam
kebersamaan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan
yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui
kerja sama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itulah,
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan
secara selaras, serasi, dan seimbang.
c. Era
Reformasi
Sistem etika Pancasila
pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi. Namun seiring dengan
perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik
akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan.
2.
Tantangan
Pancasila Sebagai Sistem Etika
Hal-hal
berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila
sebagai sistem etika :
a. Zaman
Orde Lama
Tantangan terhadap
Pancasila sebagai sistem etika pada zaman orde lama berupa sikap otoriter dalam
pemerintahan, sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang
menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem
etika Pancasila yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.
b. Zaman
Orde Baru
Tantangan terhadap
Pancasila sebagai sitem etika pada zaman orde baru terkait dengan masalah KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena korupsi, kolusi, dan nepotisme
hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.
c. Era
Reformasi
Tantangan terhadap
Pancasila sebagai sistem etika pada era reformasi berupa eforia kebebasan,
berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya, munculnya anarkisme
yang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.
PENUTUP
Pancasila
sangat diperlukan sebagai sistem etika untuk memberikan pedoman dan arahan agar
setiap tindakan yang dilakukan oleh mayarakat Indonesia berpedoman pada sikap
moral yang berlandaskan Pancasila. Setiap tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia sebagai cerminan dari pelaksanaan Pancasila sebagai sistem
etika dapat diamalkan dengan melaksanakan setiap pengalaman di setiap butir
Pancasila. Sebagai contoh, seperti yang tercantum di sila ke dua pada
Pancasila, yaitu “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadiran Pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat
berandil besar.
Dengan
menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik yang
berlaku dalam masyarakat, bangsa dan negara. Dalam melaksanakan kehidupan, tentunya
kita akan mengalami banyak tantangan. Tantangan yang dibuat untuk dimenangkan,
begitu pula tantangan Pancasila sebagai sistem etika. Jika kita sudah
menerapkan etika di setiap butir Pancasila, maka tantangan Pancasila sebagai
sistem etika dapat terselesaikan.